Leonhard Swidler, Jesus was a Feminist What the Gospels Reveal about His Revolusionary Perspective, Lanham etc.: Sheed & Ward, 2007, 276 hlm.
Abstract
Leonhard Swidler, guru besar teologi Katolik di Universitas Temple di Philadephia dan pendiri Institute for Interreligious and Intercultural Dialogue, termasuk teolog Katolik Amerika Serikat sangat terkenal. Delapan tahun lalu ia menerbitkan buku yang pantas diperhatikan. Judulnya saja mengagetkan: Jesus was a Feminist. Namun kita tidak perlu berprasangka. Buku ini bukan salah satu dari pelbagai tulisan ideologis. Yang dimaksud Swidler dengan feminis Yesus seorang feminis sangat radikal (h. 33) adalah bahwa Yesus vigorously promoted the dignity and equality of women in the midst of a very male-dominated society (ibid.). Swilder juga menyebut Yesus androgynous karena dalam kepribadiannya terdapat fusion and balance of so-called masculine and feminine psychological traits (h. 34).
Seni Swidler adalah bahwa ia mengajak kita bersama membaca keempat injil dan, itulah kehebatannya, kita dibuat Swidler melihat sesuatu yang sebetulnya selalu kita baca, tetapi sekurang-kurangnya oleh penulis ini tidak diperhatikan (Swidler kadang-kadang sedikit menjemukan, karena ia membahas semua teks satu-satu dalam empat injil di mana perempuan muncul sehingga pengulangan tidak dapat dihindari). Swidler menunjukkan betapa tegas Yesus berdiri di pihak para perempuan, dan bahwa itu merupakan kontras keras terhadap sikap dalam lingkungan bangsa Yahudi, lingkungan Yesus sendiri, yang patriarkal. Feminisme Yesus menjadi mencolok karena sikap-sikap Yesus terhadap kaum perempuan berlawanan total dengan kebiasaan dan pandangan budaya Yahudi zaman itu, dan khususnya juga dengan sikap resmi pustaka Rabinistik. Suatu contoh ada di Lukas 36 50 (wanita pendosa yang mencuci kaki Yesus dengan tetes tangisannya): Ada Yesus yang begitu peka terhadap curahan hati perempuan itu dan ada sikap tak mengerti, bahkan tersinggung tamu-tamu lain. Dalam agama Yahudi jelas dan eksplisit perempuan diberi peran sekunder terhadap laki-laki, perempuan harus taat pada suami, ia tidak dapat menjadi saksi, dalam sinagoga ia harus diam. Atas latar belakang itu sikap Yesus terhadap perempuan, dan sikap keempat penginjil terhadap semua perempuan yang muncul, amat kontras.
...
Tulisan Swidler betul-betul sebuah pembuka mata. Artinya, sesuatu yang selama ini sudah selalu dibaca dalam injil, tetapi tidak diperhatikan, mendadak menjadi mencolok dan ternyata penting. Orang akan membaca Injil dengan mata baru. Ia menyadari suatu dimensi yang dalam seluruh ajaran dan spiritualitas Gereja tidak pernah diberi perhatian. Kesadaran akan patriarkat serta tuntutan agar harkat kemanusiaan perempuan diakui, sesuatu yang sejak pertengahan abad lalu diperjuangkan oleh feminisme, lahir dari luar Gereja. Justru karena itu keyakinan Swidler bahwa pengembalian martabat perempuan merupakan unsur amat penting dalam kabar gembira Yesus adalah begitu penting. Orang tidak perlu sependapat dengan Swidler dalam semua hal, tetapi penegasan bahwa bagi Yesus pengakuan terhadap martabat perempuan yang tak kalah dengan martabat laki-laki merupakan tantangan yang wajib diperhatikan oleh setiap teolog. Sudah waktunya bahwa hampir 2000 tahun kebutaan Gereja terhadap dimensi feminis dalam pewartaan Yesus diakhiri.
Sebagai catatan akhir: Swidler tidak memasuki pertanyaan ten-tang apakah Gereja berhak menahbiskan perempuan menjadi imam dan uskup. Tetapi ia menyinggungnya. Menurutnya implikasi dari sikap Yesus terhadap perempuan maupun cerminan sikap itu dalam tulisan empat penginjil adalah bahwa penolakan terhadap penahbisan perem-puan tidak dapat mendasarkan diri pada suatu ajaran Yesus. Alasan mengapa masalah imamat perempuan tidak muncul lebih jelas dalam Perjanjian Baru adalah bahwa tatanan hirarkis pimpinan Gereja menurut slagorde uskup, imam dan diakon baru menjadi baku sejak akhir abad ke-2 dan pada waktu itu nada feminis maklumat Yesus sudah tenggelam dalam prasangka budaya patriarkal umat Kristiani. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
DISKURSUS applies the Creative Commons license (CC BY). We allow readers to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full texts of its articles and allow readers to use them for any other lawful purpose. The author must be aware that the article copyrights will be fully transferred to DISKURSUS if the article is accepted to be published in the journal. Once the manuscript has been published, authors are allowed to use their published article under DISKURSUS copyrights. Full information about CC BY can be found here: https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/