Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design, New York: Ban-tam Books 2010, 198 hlm.
Abstract
Tak salah kiranya kalau buku ini—yang ditulis oleh Stephen Hawking, barangkali fisikawan paling tersohor yang hidup sekarang, bersama Leonard Mlodinow—dianggap semacam summa atau kesimpulan agung seseorang yang selama seluruh hidup bergulat penuh semangat dengan misteri-misteri alam raya kita, tanpa mau ditundukkan oleh penyakit yang melumpuhkannya. Kesan pertama: Mengasyikkan!
Di atas hanya 166 halaman dua penulis berkompetensi tinggi ini mengantar kita, dalam bahasa yang relatif mudah dimengerti (sedikit pengetahuan dasar tentang fisika pasca-tradisional memang perlu!), dengan ilustrasi-ilustrasi amat bagus, ke garis paling depan fisika di permulaan abad ke-21 ini. Mulai dengan dasar-dasar fisika pasca-tradisional, fisika kuantum dan teori relativitas—keduanya tetap belum sepenuhnya dapat disatukan dalam satu teori—mereka mengantar kita ke dalam pokok bahasan, perspektif-perspektif menakjubkan astrofisika abad ke-21.
Akan tetapi Hawking/Mlodinow tentunya tidak sekedar mau menambah jumlah buku ”fisika kontemporer bagi kaum awam.“ Tujuan mereka tak lain tak bukan adalah menjawab pertanyaan dasar umat manusia: ”Bagaimana kita dapat mengerti dunia di mana kita menemukan diri?“ Secara terinci ada tiga pertanyaan yang akan mereka jawab: ”Mengapa ada sesuatu dan bukannya tidak ada sesuatu?,“ ”mengapa kita ada?,“ dan ”mengapa hukum alam adalah seperti yang ada dan bukan hukum alam lain?”
Klaim mereka keras. Mereka mau menjawab pertanyaan-pertanyaan itu semata-mata atas dasar fisika! Pada halaman pertama mereka sudah mejatuhkan putusan pada ilmu yang umumnya dianggap paling cocok untuk bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu: filsafat. Vonis mereka: ”Philosophy is dead.“
Tetapi lawan yang sebenarnya mau mereka hantam adalah agama. Berulang kali mereka menyatakan bahwa tidak diperlukan seorang Pencipta. Mereka mengutip jawaban Laplace atas pertanyaan Napoleon tentang di mana tempatnya Allah dalam sistemnya: ”Paduka, saya tidak memerlukan hipotesa itu!“ Buku Hawking/Mlodinow boleh dianggap padanannya buku Richard Dawkins The God Ilusion. Kalau Dawkins mau menjelaskan evolusi tanpa acuan pada Allah, maka Hawking/Mlodinow mau melakukan yang sama tentang eksistensi alam raya kita. Berhasilkah mereka? Mari kita lihat.
Hawking/Mlodinow bertolak dari pengandaian bahwa tidak mungkin lagi dibentuk gambar objektif tentang dunia. Realisme mereka adalah suatu model dependent realism; dengan lain kata, kita sendiri harus mengkonstruksikan model-model tentang bagaimana kiranya alam raya kita berfungsi. Model yang paling elegan, menghindar dari unsur-unsur sewenang-wenang, sesuai dengan semua amatan dan mengijinkan ramalan, itulah yang harus dipegang. Sebetulnya ini pandangan amat radikal, lebih radikal daripada pandangan Immanuel Kant, karena itu berarti bahwa kita sebenarnya tidak mengetahui realitas. Kebenaran model itu pragmatis, artinya pengetahuan kita tentang alam itu benar sejauh kita bisa hidup di dalamnya. Tentu saja, di sini banyak pertanyaan muncul, tetapi saya biarkan saja.
.....................................................
Hal kebebasan kehendak mereka pecahkan serta merta dengan mendefinisikannya sebagai situasi yang begitu kompleks sehingga ”kita tidak mampu membuat kalkulasi-kalkulasi yang akan membuat kita menjadi mampu untuk memprediksikan aksi-aksinya.” Menurut definisi ini gunung Merapi pun meledak atas kehendak bebasnya (apakah koordinasi antara kraton Ngajodjokarta Hadiningrat dengan Merapi dan ratu kidul akhir-akhir ini kurang mulus?). Dan, betul, menurut Hawking/Mlodinow ”semua makhluk kompleks (memang) mempunyai kehendak bebas.” Kalau mereka betul, maka buku yang sudah mereka tulis ini bukannya hasil rencana dan pemikiran mereka, melainkan merupakan akibat fisikalis kondisi awal alam raya kita dalam big bang. Hal yang sama berlaku bagi bahasan ini. Seriuskah itu? Kalau mereka mau menyatakan bahwa semua proses inderawi terdeterminasi, maka itu sudah dirumuskan dengan meyakinkan oleh Immanuel Kant; tetapi dari mana mereka tahu bahwa yang ada hanyalah proses-proses inderawi? Kebebasan pertama-tama merupakan fakta kesadaran internal (dengan banyak keterbatasan karena pelbagai faktor psikologis) dan tentu teori harus menyesuaikan diri dengan fakta itu dan bukan sebaliknya. Atas dasar pemikiran begitu kasar kita lantas juga tidak heran bahwa para penulis tidak memberikan sepucuk penjelasan tentang bagaimana kemunculan kesadaran dan, pada manusia, kerohanian dapat dijelaskan.
Buku mengasyikkan ini bagi penulis tinjauan ini mengecewakan. Dua penulis itu pada dasarnya masih di tingkat Auguste Comte yang 200 tahun lalu merumuskan ”hukum tiga tahap,” dari mitos dan agama (yang tidak bisa dia bedakan) lewat spekulasi filsafat ke ilmu alam, sesuatu yang sekarang dalam filsafat tidak pernah diangkat lagi (berbeda dengan Kant, Aristoteles dan Platon yang tetap memberi inspirasi). Yang paling gila—untuk menghindar dari kata ”bohong”—adalah kalimat mereka yang terakhir: ”If the theory is confirmed by observation, … we will have found the the grand design.” Mengapa gila? Karena menurut mereka sendiri keadaan pra-big bang, sang ”ibu segala alam raya,” secara prinsip tak teramati! (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)
DISKURSUS applies the Creative Commons license (CC BY). We allow readers to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full texts of its articles and allow readers to use them for any other lawful purpose. The author must be aware that the article copyrights will be fully transferred to DISKURSUS if the article is accepted to be published in the journal. Once the manuscript has been published, authors are allowed to use their published article under DISKURSUS copyrights. Full information about CC BY can be found here: https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/