Andreas J. Köstenberger and Michael J. Kruger, The Heresy of Orthodoxy: How Contemporary Culture’s Fascination with Diversity Has Reshaped Our Understanding of Early Christianity, Wheaton, IL: Crossway, 2010, 250 hlm.

  • T.A Deshi Ramadhani Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Abstract

Gema kegaduhan sejak munculnya Novel The Da Vinci Code ternyata belum sirna. Perhatian banyak orang pada sejarah Kekristenan awal tiba-tiba melesat naik. Dalam gelombang perhatian baru semacam ini pertanyaan-pertanyaan tajam kembali diarahkan pada sejarah terbentuknya Kitab Suci Kristiani, khususnya bagian Perjanjian Baru. Persoalan seputar kredibilitas pewahyuan Yang Ilahi dalam bentuk tertulis kembali dipertanyakan.

Di kalangan akademisi bidang tafsir Kitab Suci nama Dan Brown dan The Da Vinci Code-nya tidak lagi menjadi bahan perbincangan berarti. Meskipun demikian, persoalan serupa sekarang dikibarkan secara lebih luas oleh seseorang yang bernama Bart D. Ehrman, yang dengan Misquoting Jesus-nya berhasil memperkenalkan kepada khalayak ramai banyak problematika seputar telaah naskah-naskah kuno Kitab Suci Perjanjian Baru. [Catatan: Buku tersebut telah menjadi salah satu dari New York Times Bestseller, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia].

 

...............................................................

 

Secara tegas dikatakan demikian dalam bagian akhir buku ini: Indeed, it is contemporary culture’s fascination with diversity that has largely driven the way in which our understanding of Jesus and early Christianity has been reshaped. If it can be shown that early Christianity was not as unified as commonly supposed, and if it can be suggested that the eventual rise of Christian orthodoxy was in fact the result of a conspiracy or of a power grab by the ruling political, cultural, or ecclesiastical elite, this contributes to undermining the notion of religious truth itself and paves the way for the celebration of diversity as the only “truth” that is left. And thus the tables are turned—diversity becomes the last remaining orthodoxy, and orthodoxy becomes heresy, because it violates the new orthodoxy: the gospel of diversity (hlm. 234).

Dalam konteks di Indonesia, di mana usaha untuk saling memahami antarpemeluk agama yang berbeda sering berwujud usaha untuk membuktikan kesalahan dan keburukan pihak lain, serta kebenaran dan kebaikan agama sendiri, buku Misquoting Jesus yang ditulis Ehrman tentu telah menjadi makanan empuk. Publik di Indonesia perlu melihat sisi lain dalam perdebatan ini. Buku The Heresy of Orthodoxy memberi jalan untuk menyeimbangkan gagasan publik. Jika buku ini diterjemahkan, dan jika buku ini ternyata tidak menarik pembaca, mungkin tesis dasar buku ini dengan sendirinya telah terbukti: publik benar-benar telah terobsesi oleh gagasan tentang “keragaman,” sehingga tidak selalu siap menerima kenyataan bahwa “keragaman” tersebut secara historis sulit dibuktikan. (Deshi Ramadhani, Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).

Published
2011-04-11
How to Cite
Ramadhani, T. A. D. (2011). Andreas J. Köstenberger and Michael J. Kruger, The Heresy of Orthodoxy: How Contemporary Culture’s Fascination with Diversity Has Reshaped Our Understanding of Early Christianity, Wheaton, IL: Crossway, 2010, 250 hlm. DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA, 10(1), 140-142. Retrieved from https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/211