Izzeldin Abuelaish, I Shall Not Hate: Kisah Seorang Dokter Palestina Memperjuangkan Perdamaian Tanpa Dendam dan Kebencian, Bandung: Qanita/Mizan, 2011, 370 hlm.
Abstract
Tragedi perang Palestina–Israel tampak sebagai jalan penderitaan dan kekejian yang tanpa ujung dan tanpa solusi. Di tengah kesuraman seperti itu kisah kehidupan yang diceritakan oleh dokter Abuelaish mengharukan dan membawa harapan. Lahir dalam kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza pada 1955, tujuh tahun setelah perang 1948 melahirkan negara Israel di tengah tanah Palestina, Abuelaish mengalami kemelaratan sangat ekstrem bersama ayahnya yang kehilangan tanahnya dan ibunya yang berwatak kuat tetapi juga keras serta delapan saudaranya. Sebelas orang ini hidup bertahun-tahun dalam ruang pengungsian sesak dan pengap. Rumah lebih baik yang mereka temukan kemudian, dihancurkan buldoser Israel. Adiknya, Noor, ditangkap dan hilang. Di tengah keadaan gelap seperti itu, sambil terpaksa sebagai anak untuk bekerja keras ikut mencari nafkah, Abuelaish tetap seorang anak yang mau maju dan haus belajar. Semangat itu akhirnya membuka jalan baginya untuk mengambil kuliah kedokteran di Kairo, Mesir.
Dengan pengalaman kerja bertahun-tahun di pelbagai rumah sakit di Gaza dan negara timur tengah lainnya dan belajar di London serta Harvard, juga lewat kerja sama dengan spesialis-spesialis Ginekologi Yahudi di Beersheba dan Tel-Aviv, ia berkembang menjadi seorang ginekolog dan spesialis fertilitas perempuan yang disegani. Namun bukan itu saja yang merupakan keistimewaan kisahnya. Dokter ini meyakini dan menemukan jalan bagaimana di tengah permusuhan antara bangsa Israel dan Palestina karya medis dapat membangun jembatan hidup bersama; juga bagaimana para perempuan yang ia layani sebagai ginekolog, merupakan kekuatan damai tatkala laki-laki suka berperang. Karena itu, ia berjuang bagi perempuan dan pemberdayaan mereka lewat pendidikan, termasuk putri-putrinya sendiri. Ia mau repot membawa pasien-pasiennya yang tak bisa ia tolong di rumah sakit serba terbatas di Jalur Gaza, ke pusat-pusat medis di Israel yang dapat dan mau membantu, kendati segala kesusahan untuk mendapat visa dan segala macam penghinaan yang harus ditelan seorang Palestina di setiap penyeberangan perbatasan.
...................................
Terima kasih kepada Penerbit Qanita (PT Mizan Pustaka) yang begitu cepat menyediakan kesaksian kemanusiaan, iman, serta moral tinggi ini (aslinya dari tahun 2010) dalam terjemahan Indonesia yang enak dibaca. Semoga menjadi best-reader. Tak dapat tidak, kisah istimewa ini telah dan akan terus menggetarkan hati banyak orang, bahkan dari mereka yang mengambil posisi bertolak belakang dengan Izzeldin Abuelaish dalam konflik Israel-Palestina dan cara untuk menyelesaikannya. (Martin Harun, Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)
DISKURSUS applies the Creative Commons license (CC BY). We allow readers to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full texts of its articles and allow readers to use them for any other lawful purpose. The author must be aware that the article copyrights will be fully transferred to DISKURSUS if the article is accepted to be published in the journal. Once the manuscript has been published, authors are allowed to use their published article under DISKURSUS copyrights. Full information about CC BY can be found here: https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/