Maureen Sullivan, Responses to 101 Questions on Vatican II, Bandra, Mumbai: St. Paul Press 2004, 135 hlm.

  • Ignatius L Madya Utama Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Abstract

Pada 11 Oktober 2012 Gereja Katolik merayakan 50 tahun dibukanya Konsili Vatikan II. Namun demikian, 16 dokumen yang dihasilkan selama Konsili itu berlangsung (11 Oktober 1962-7 Desember 1965) belum dikenal oleh semua umat Katolik. Bahkan ada tidak sedikit umat Katolik yang belum pernah melihat dokumen-dokumen tersebut. Ada pula yang mengatakan bahwa kendati sudah membacanya, namun merasakan sangat sulit untuk memahaminya. Ada pula yang ketika melihat buku tebal yang memuat dokumen-dokumen tersebut langsung merasa terintimidasi dan ketakutan (intimadated), lalu tidak berani membukanya.

 

Sudah ada berbagai macam upaya untuk menyampaikan isi dan semangat dari Konsili Vatikan II kepada seluruh anggota Gereja Katolik. Salah satu cara adalah menerbitkan buku untuk mengulas isi dokumen-dokumen tersebut. Salah satu dari sekian banyak buku yang pantas dibaca adalah karya Maureen Sulivan, seorang assistant professor ilmu Teologi di Saint Anselm College, Manchester, New Hapshire, Amerika Serikat. Buku yang ditulis dalam bentuk tanya jawab ini dibagi menjadi 9 bab.

Bab 1 berbicara mengenai “Pengumuman” diadakannya Konsili yang menggemparkan para pemimpin Gereja, khususnya anggota Dewan Kardinal dan Kuria di Vatikan, yang merasa bahwa Konsili tidak diperlukan. Dalam bab ini dibicarakan tentang arti dari Konsili yang disebut sebagai ekumenis dan pastoral, alasan perlu diadakannya Konsili, persiapan yang dibutuhkan, serta tujuan yang ingin dicapai dengan diadakannya Konsili Vatikan II. Secara khusus disebutkan peran almarhum Paus Johanes XXIII, yang ketika mengumumkan untuk mengadakan Konsili, beliau baru tiga bulan diangkat menjadi Paus. Lewat Konsili ini beliau menginginkan agar Gereja mampu menemukan cara agar iman Kristiani dapat disampaikan kepada dunia dan dimengerti oleh dunia. Demi tujuan itu Gereja perlu “membuka jendela” agar “angin segar memasuki dirinya (hlm. 29).” Gereja perlu melakukan aggiornemento, pembaruan diri.

 

Bab 2 mengulas mengenai orang-orang yang berperan dalam KonsiliVatikan II, ketegangan-ketegangan yang muncul antara mereka yang ingin mengadakan pembaruan dengan mereka yang ingin mempertahankan status quo Gereja, serta peran media massa. Selain sekitar 2200 peserta (Kardinal, Uskup, dan Abas), juga terdapat ratusan teolog yang berperan sebagai penasihat bagi para peserta Konsili (periti), antara lain dengan memberikan seminar-seminar mengenai topik-topik teologis kepada para peserta Konsili (hlm. 35-36). Selain itu juga terdapat para pengamat dari Gereja Ortodoks, Gereja-gereja Protestan main streams (Lutheran, Episkopalian, Anglikan, Metodis, Presbyteran, dan Quakers), dan Yudaisme. Hadirnya para pengamat dari kalangan khusus ini merupakan sesuatu yang baru dan revolusioner dalam Konsili. Secara khusus ditampilkan seorang tokoh pembaru: Kardinal Bea, ketua Sekretariat untuk Kesatuan Umat Kristiani. Ia begitu dikenal dengan ucapannya yang sangat menggemparkan di depan para wartawan: “Members of the other Christian Churches who are living today never ’left’ the Church. So they cannot ‘return,’ can they? We are talking about going  together, hand in hand, toward a new future” (hlm. 33). Tokoh pembaru lain adalah Kardinal Achile Liénart, seorang Kardinal senior dari Prancis, yang pada hari ketiga Konsili menolak untuk memilih dari daftar nama yang sudah disiapkan (kebanyakan adalah anggota Kuria) untuk menjadi ketua dari 10 komisi yang akan mengendalikan agenda Konsili. Ia mengusulkan supaya para peserta Konsili memilih orang-orangnya sendiri. Usulan ini didukung oleh Kardinal Josef Fring dari Jerman, dan kemudian diterima oleh semua perserta Konsili. Tokoh pembaru lain adalah Kardinal Jan Alfrink dari Belanda, dan Kardinal Leo Josef Suenens dari Belgia (hlm. 38-38). Di pihak lain, ada tokoh sangat konservatif yang mencoba menghambat jalannya Konsili: Kardinal Alfredo Ottaviani, seorang anggota Kuria dan ketua The Holy Office (sekarang dikenal sebagi Kogregasi untuk Ajaran Iman), yang terkenal dengan ucapannya “Semper idem” (Selalu sama). Ia antara lain melawan hadirnya para pengamat dalam Konsili (hlm. 33), mencoba melarang kuliah-kuliah yang diberikan kepada para peserta Konsili oleh para Yesuit dari Institut Biblis di Roma, bahkan meminta Paus Yohanes XXIII untuk mengusir teolog Yesuit, Karl Rahner dari Roma, yang tentu saja ditolak oleh Paus (hlm. 35). Ia menolak penggunaan bahasa-bahasa lokal untuk Misa, yang intinya adalah pemindahan kekuasaan dari hierarki kepada Umat (hlm. 43), menghambat disahkannya kolegialitas para Uskup dan menandaskan bahwa Komisi Teologi yang ia pimpin memiliki otoritas di atas Konsili (hlm. 55). Dalam bab ini juga disebutkan hal yang baru dalam Konsili ini adalah hadirnya para wartawan dari pelbagai media massa dari seluruh dunia.

 

..........................................

 

Sebagai penutup, dalam bab 9, Sullivan menegaskan bahwa ada dua hal yang benar-benar perlu diperhatikan untuk zaman ini sebagai agenda yang belum selesai dari Konsili Vatikan II: kolegialitas (relasi atara Paus dan Uskup) dan peran kaum perempuan dalam Gereja. Akhirnya, pada awal abad ke-21 ini Sullivan mengajak kita semua untuk bertanya: Apakah Gereja kita sungguh-sungguh dapat menjawab tantangan-tantangan pada zaman ini?; Apakah Gereja kita dapat membuat pesan Injil relevan untuk zaman ini?; Apakah Gereja kita dapat membangkitkan entusisme baru yang dapat membangun sebuah generasi baru?; Apakah Gereja dapat meredakan berbagai macam ketegangan yang akhir-akhir ini menggoncang “bahtera Petrus?” Dengan bijak Sullivan mengatakan bahwa kita perlu terus berharap, dan harapan itu akan menjadi semakin produktif kalau kita selalu berpegang pada nasihat almarhum Yohanes XXIII: “Untuk hal-hal yang mendasar, kesatuan; untuk hal-hal yang meragukan, kebebasan; dan untuk segala sesuatu, cinta kasih” (hlm. 124).

 

Buku ini sangat komprehensif mengulas Konsili Vatikan II dan disampaikan dengan bahasa yang sederhana. Buku ini sangat membantu para pembaca karena dilengkapi dengan daftar isi yang mendetil, daftar semua dokumen yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II beserta dengan waktu promulgasinya, daftar istilah-istilah yang penting berkaitan dengan Konsili Vatikan II, serta indeks subjek. Semoga dengan membaca buku ini para pembaca terdorong untuk membuka dan menemukan pesan-pesan penting dari dokumen-dokumen Konsili Vatikan II. (Ignatius Madya Utama, Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).

Published
2012-10-15
How to Cite
Utama, I. L. M. (2012). Maureen Sullivan, Responses to 101 Questions on Vatican II, Bandra, Mumbai: St. Paul Press 2004, 135 hlm. DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA, 11(2), 262-267. https://doi.org/10.36383/diskursus.v11i2.150