Gerardette Philips, Beyond Pluralism: Open Integrity as a Suitable Approach to Muslim-Christian Dialogue, Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2013, xx+228 hlm.

  • J. Sudarminta Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Abstract

Buku ini berawal dari sebuah disertasi yang ditulis Sr. Gerardette Philips, RSCJ, pengarangnya, untuk meraih gelar doktor di bidang Ilmu Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Penerbitannya menjadi sebuah buku oleh Interfidei—sebuah Penerbit di Indonesia yang menaruh perhatian khusus pada persoalan dialog antaragama— sungguh layak disambut baik. Penerbitan buku ini dalam bahasa Inggris memiliki segi negatif maupun positifnya tersendiri. Segi negatifnya, hal itu membuat jumlah publik pembacanya di Indonesia lebih terbatas pada mereka yang dapat memahami bahasa Inggris. Jumlahnya jelas jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pembaca buku ini kalau ditulis dalam bahasa Indonesia. Walaupun demikian, segi positifnya, dengan diterbitkannya dalam bahasa Inggris, publik pembaca yang dapat mengaksesnya secara internasional menjadi lebih banyak. Apalagi buku ini juga memuat Kata Pengantar dalam bahasa Inggris dari Prof. Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim yang hendak ditampilkan pengarang buku ini sebagai pemikir  sekaligus pelaku dialog Muslim-Kristen yang melampaui pendekatan pluralisme. Tokoh dari pihak agama Kristen yang ditampilkan oleh pengarang adalah Hans Küng.

 

Selama ini banyak orang beranggapan bahwa pluralisme merupakan paham hubungan antaragama, yang memiliki bentuk pendekatan yang paling tepat dalam melakukan dialog antaragama, termasuk di dalamnya dialog antara umat Muslim dan Kristen. Memang, dibandingkan dengan pendekatan eksklusivisme maupun inklusivisme, seperti ditegaskan oleh pengarang buku ini (hlm. 1; 60–63; 67), pluralisme memiliki kelebihan tersendiri. Namun, pluralisme mengandung beberapa kelemahan yang layak dikritik.  Paling tidak ada tiga kelemahan pokok dari pendekatan pluralisme yang dicoba ditunjukkan dalam buku ini. Pertama, pluralisme mengandung bahaya tidak mengambil serius identitas keagamaan yang khas dan berbeda untuk setiap agama karena ingin menekankan keselarasan antara semua agama, agar tidak terjadi konflik antara pemeluk agama yang berbeda. Guna menguatkan pendapatnya, pengarang mengutip pernyataan Paul Knitter (hlm. 64) yang berbunyi: “Karena begitu terpesona oleh keindahan sebuah simfoni, kaum pluralis melupakan perbedaan dan kekhasan dari masing-masing alat musik yang dipakai.” Pendekatan pluralisme juga mengandung bahaya jatuh ke dalam relativisme, karena— terdorong oleh kehendak untuk mau bersikap terbuka terhadap penganut agama yang lain dan mau menghormati perbedaan keyakinan mereka— para pluralis lalu cenderung merelatifkan klaim kebenaran agamanya sendiri. Tanpa harus menjadi seorang eksklusivis—yang memutlakkan klaim kebenaran keyakinan agamanya sendiri seraya menganggap sesat keyakinan agama yang lain—keseriusan untuk sungguh meyakini kebenaran iman agama yang dipeluknya, sangat diperlukan dalam berdialog agar tidak menjadi kompromistis dan jatuh ke dalam relativisme. Sikap terbuka terhadap para pemeluk agama yang lain—yang berbeda dengan agamanya sendiri—memang diperlukan dalam sebuah dialog antaragama yang sejati. Namun, hal itu perlu dilakukan tanpa kehilangan jatidirinya sendiri sebagai pemeluk agama tertentu yang diyakini kebenarannya. Kelemahan ketiga dari pluralisme adalah bahaya menjadi imperialis tanpa disengaja. Kembali mengutip pernyataan Knitter (hlm.68), pengarang menyebut adanya dua kemungkinan seorang pluralis yang berniat baik tanpa disengaja menjadi seorang imperialis. Pertama, dengan terlalu cepat seorang pluralis menarik kesimpulan tentang adanya suatu dasar pijak atau platform yang sama dari macam-macam agama yang ada yang dapat mempersatukan semuanya. Kedua, ia dengan terlalu mudah merumuskan panduan umum bersama untuk melakukan dialog antaragama-agama yang berbeda.

 

...............

 

Salah satu kelemahan buku ini—sebagai sebuah buku yang dimaksud- kan untuk dibaca oleh publik pembaca umum—adalah bahwa formatnya masih mempertahankan format aslinya sebagai sebuah disertasi dan belum cukup diolah untuk dijadikan buku yang lebih dapat diakses dan lebih enak dibaca oleh publik pembaca umum. Bahkan di dalamnya masih dapat ditemukan kata “disertasi” dan belum diganti dengan kata “buku” (lihat hlm. 11). Semboyan dalam bahasa Latin “Extra Ecclesiam Nulla Salus,” artinya “Di luar Gereja tidak ada keselamatan,” yang dalam teks asli disertasi salah ditulis “Extra Ecclesiam Nulla Sales!”  masih terulang kesalahannya dalam buku ini (lihat hlm. 90).

 

Lepas dari kelemahan kecil di atas, penerbitan buku ini sekali lagi sungguh layak dihargai dan jelas menambah khasanah intelektual yang dapat memperkaya wawasan maupun memberi inspirasi yang berguna bagi siapa saja yang bermaksud mengembangkan dialog antaragama pada umumnya dan khususnya dialog Muslim-Kristen yang menjadi fokus perhatian dalam buku ini. Sr. Gerardette Philips, RSCJ, Ph.D., penulis buku ini, bukan hanya menjadi seorang akademikus yang telah meneliti pemikiran Hans Küng dan Seyyed Hosein Nasr, tetapi ia sendiri sudah cukup lama terlibat dalam upaya mengembangkan dialog Muslim- Kristen. Beliau bahkan sempat menjadi anggota tim penasihat Paus Benedictus XVI dalam Komisi Kepausan dalam Bidang Hubungan dengan Islam.  Pengalamannya yang cukup banyak dalam mewujudkan dialog hidup antara umat Islam dan umat Katolik jelas ikut memperkaya wawasan dalam buku ini. (J. Sudarminta, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).

Published
2013-04-22
How to Cite
Sudarminta, J. (2013). Gerardette Philips, Beyond Pluralism: Open Integrity as a Suitable Approach to Muslim-Christian Dialogue, Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2013, xx+228 hlm. DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA, 12(1), 133-139. https://doi.org/10.36383/diskursus.v12i1.129