Juliet B. Schor, Plenitude: The New Economics of True Wealth, New York: The Penguin Press, 2010, 258 hlm.
Abstract
Kehancuran lingkungan ekologis yang makin dirasakan dan disadari banyak pihak akhir-akhir ini telah menimbulkan gelombang perbincangan yang makin memanas, seiring dengan makin panasnya suhu bumi ini. Perbincangan tidak hanya ada pada masyarakat yang langsung terkena dampak kehancuran itu. Sekarang perbincangan itu hampir ada di semua lini sosial, mulai dari hiruk-pikuknya sidang-sidang Perserikatan Bangsa- bangsa sampai ke warung kopi.
Topik yang sering dibicarakan pada umumnya adalah upaya untuk mengurangi dampak kehancuran itu. Di antara topik-topik itu, yang paling panas diperbincangkan, didiskusikan dan diperdebatkan adalah bagaimana sistem ekonomi berperan besar dalam kehancuran ekologis tadi. Prinsip profit-motif dalam dunia ekonomi dipandang mewadahi keserakahan manusia, apalagi kalau sistem hukum yang dibangunnya lebih mengarah ke sistem kapitalisme dan neoliberalisme. Dengan kata lain, diskusi ini menyasar pada perbaikan sistem ekonomi beserta perangkat hukumnya.
Dalam konteks diskusi mencari jalan keluar agar ekonomi bisa (kembali) menjadi ekologis, muncul wacana tentang pembangunan yang berkelanjutan, dan kemudian tentang ekonomi hijau. Diskusi panjang di dunia akademis itu lalu “dilembagakan” oleh UNEP (United Nations Environment Programme) dalam “Green Economy Initiative” pada 2008. Program ini bertujuan untuk mencari dan menerapkan suatu sistem ekonomi yang lebih menjamin kebaikan hidup manusia dan kebaikan kehidupan sosial. Pun, akhir-akhir ini mulai ada perbincangan tentang blue economy yang pendekatannya tampak lebih menyeluruh.
...........
Dalam upaya merumuskan langkah yang baru dengan pendekatan dan pengandaian baru ini, Schor berusaha lebih konkret dengan memasuk- kan elemen waktu dalam perilaku ekonomis. Hal ini dapat dikatakan baru karena biasanya luput dari perhatian dan analisis. Pentingnya pengelolaan elemen waktu itu antara lain tampak dalam usulannya tentang pentingnya waktu luang bagi diri sendiri maupun keluarga. Inilah unsur penting dari kebaruan gagasan Schor, dan sekaligus membuat gagasannya terasa lebih radikal.
Selain itu, gagasan Schor di atas memang tidak langsung mengritik konsep ekonomi hijau, tetapi cukup jelas bahwa lebih radikal. Selain alasan di atas, dari kacamata ekologis, kepedulian dan prinsip-prinsip yang diusulkan memang tampak lebih ekosentris. Dengan kegiatan ekonomis yang dilakukan secara baru itu manusia diajak menjadi dirinya dalam relasinya dengan yang lain secara lebih utuh. Dengan kata lain, cakrawala ekologis ini menjadi paradigma bertindak, bukan hanya disesuaikan dengan tetap mendapatkan keuntungan ekonomis.
Di samping itu, yang perlu ditambahkan, meski ada dalam buku, penulis, tentu bersama tim-nya, mempublikasikan gagasannya ini secara visual dengan ringkas dan menarik, lalu diunggah di dunia maya, baik sebagai penyebaran gagasan maupun promosi. Klip singkat itu dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=HR-YrD_KB0M, atau dapat dicari di Youtube dengan entry “plenitude” dan “schor.” Sampai tulisan ini dibuat, linkitu sudah dikunjungi 125.324 kali! (Al.AndangL. Binawan, Program Studi Ilmu Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
DISKURSUS applies the Creative Commons license (CC BY). We allow readers to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full texts of its articles and allow readers to use them for any other lawful purpose. The author must be aware that the article copyrights will be fully transferred to DISKURSUS if the article is accepted to be published in the journal. Once the manuscript has been published, authors are allowed to use their published article under DISKURSUS copyrights. Full information about CC BY can be found here: https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/