DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus <p>Founded in 2002 <em>DISKURSUS</em> (<a href="https://portal.issn.org/resource/ISSN-L/1412-3878">ISSN 1412-3878</a>; <a href="https://portal.issn.org/resource/ISSN/2580-1686">e-ISSN 2580-1686</a>) is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Published semestrally (in April and October), <em>DISKURSUS</em> aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.</p> en-US <p>DISKURSUS applies the Creative Commons license (CC BY). We allow readers to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full texts of its articles and allow readers to use them for any other lawful purpose. The author must be aware that the article copyrights will be fully transferred to DISKURSUS if the article is accepted to be published in the journal. Once the manuscript has been published, authors are allowed to use their published article under DISKURSUS copyrights. Full information about CC BY can be found here: <a href="https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/</a></p> dwikris@driyarkara.ac.id (Dr. Heribertus Dwi Kristanto) putrititaw@driyarkara.ac.id (Agnesia Putri Tita Wulansari) Wed, 30 Oct 2024 00:00:00 +0000 OJS 3.1.2.4 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 Does Ethics Presuppose Religion? A Levinasian Perspective https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/577 <p>Levinas’s fundamental thought about ethics as the questioning of the I by the other earns him a unique position among moral philosophers who usually analyze the good-and-bad principles of a moral action. Levinas places such questioning on the idea of metaphysics as desire for the InÞnite that leads to the responsibility for the Other. With such an idea about ethics, one may ask whether Levinas’s thought is rooted in religion. This article purports to analyze the question by analyzing how Levinas understands the relationship between ethics and religion and whether his ethics is nothing but religion. Using the phenomenological method and textual analysis, the author shows that the answer to these questions is inherently complex. For Levinas, true ethics is fundamentally religious, and conversely, a true religion is fundamentally ethical. All this is manifested, among others, in the acknowledgment of the transcendence of the Other and the refusal to all forms of totalization.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Pemikiran fundamental Levinas mengenai etika sebagai pemertanyaan atas sang Aku oleh Yang Lain menempatkannya pada posisi unik di kalangan Þlsuf moral yang biasanya membahas prinsip baik-buruk sebuah tindakan moral. Levinas menempatkan pemertanyaan ini pada gagasan metaÞsika seperti hasrat terhadap Yang Tak Terbatas yang membawa kepada rasa tanggung jawab terhadap orang lain. Gagasan demikian dengan mudah menimbulkan pertanyaan apakah etika Levinas berakar pada agama. Artikel ini hendak menjawab pertanyaan tersebut dengan mendalami bagaimana Levinas memahami hubungan antara etika dan agama serta apakah etikanya tak lain merupakan sebuah agama. Menggunakan metode fenomenologi dan analisis tekstual, penulis menunjukkan bahwa jawaban atas pertanyaan tersebut secara inheren bersifat sangat kompleks. Bagi Levinas, etika sejati secara fundamental bersifat religius, dan demikian pula, agama sejati secara fundamental bersifat etis. Hal ini terungkap antara lain dalam pengakuan atas transendensi Yang Lain dan penolakan atas segala bentuk totalisasi.</p> <p><strong>Kata-kata Kunci</strong>: etika, agama, transendensi, Yang Lain, totalisasi, Yang Tak Terbatas.</p> Thomas Hidya Tjaya Copyright (c) 2024 DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/577 Wed, 30 Oct 2024 10:18:56 +0000 Hermeneutika Kesaksian dan Keterbacaan Transendensi dalam Filsafat Paul Ricœur https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/610 <p style="font-weight: 400;">Transcendence plays an important role in Paul Ricœur’s philosophical reflections. In the philosophy of the will that marks the beginning of his career, Transcendence serves to reconcile the conflictual relationship between human freedom and the inherent conditions that limit it and to offer liberation of man from his fault. The same theme persisted in his later works, in his exploration of the role of Transcendence for forgiveness in the book on memory, history and forgetting. However, Ricœur never systematically wrote this role of Transcendence in a work because the third book of the trilogy of the philosophy of the will that was meant to elaborate on the role of Transcendence was never written. This provides an opportunity for Ricœur’s commentators to interpret the presence of Transcendence in Ricœur’s philosophy. This article argues that the hermeneutics of testimony is one of the gateways to understand Transcendence in Ricœur’s philosophy.</p> <p style="font-weight: 400;"><strong>Abstrak</strong></p> <p style="font-weight: 400;">Transendensi memegang peranan penting di dalam refleksi filosofis Paul Ricœur. Di dalam filsafat kehendak yang menandai awal kariernya, Transendensi berperan untuk mendamaikan relasi konfliktual antara kebebasan manusia dan kondisi-kondisi absolut yang membatasinya dan lebih lagi untuk membebaskan manusia dari kesalahannya. Peran yang sama ditekankan Ricœur lagi di karya pada periode kematangan filosofisnya, yaitu peran Transendensi untuk pengampunan di buku tentang ingatan, sejarah dan pelupaan. Namun demikian, Ricœur tidak pernah menulis secara sistematis peran Transendensi ini dalam sebuah karya karena buku ketiga dari trilogi fillsafat kehendak yang dimaksudkan untuk mengurai peran Transendensi tidak pernah ditulisnya. Hal ini membuka peluang bagi para komentator Ricœur untuk menginterpretasi kehadiran Transendensi di dalam filsafat Ricœur. Artikel ini berargurmen bahwa hermeneutika kesaksian menjadi salah satu tempat keterbacaan Transendensi di dalam filsafat Ricœur.</p> <p style="font-weight: 400;"><strong>Kata-kata kunci</strong>: filsafat kehendak, puitik kehendak, pengampunan, Transendensi, kesaksian, referensi metaforis, apropriasi</p> Fransiskus Wawan Setyadi Copyright (c) 2024 DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/610 Wed, 30 Oct 2024 10:19:34 +0000 Ritus Pewartaan Injil dalam Misa: Komparasi Missale Romanum Pius V (1570) dan Missale Romanum Paulus VI (2008) https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/596 <p>This study explores the evolution and history of the rite of proclaiming the Gospel as found in the <em>Ordo Missae</em> of the <em>Missale Romanum</em> of Pius V (1570) and the <em>Missale Romanum</em> of Paul VI (2008). The objective is to facilitate a deeper understanding of how this rite has been celebrated in different contexts over time. The liturgical renewal of the Second Vatican Council has brought changes to the rite, simplifying some elements and removing unnecessary repetitions from the old <em>Ordo Missae</em>. Therefore, a comparative study of these two <em>Ordines</em> is necessary to fully comprehend the changes that have occurred in this rite. This study uses a descriptive-qualitative approach, focusing on comparative and historical analysis. It concludes that understanding the current rite of proclaiming the Gospel in the <em>Ordo Missae</em> is best achieved through comparison with the previous rite. The new <em>Ordo Missae</em> was not created abruptly or in a completely new way, but was compiled based on extensive liturgical study while retaining the essentials. Although the rite is expressed in two different forms of<em> Ordines Missae</em>, this does not mean that the Roman Catholic Church celebrates the Eucharist using “two rites,” but only with one rite, namely the Roman rite.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Studi ini menunjukkan evolusi dan sejarah dari ritus pewartaanInjil yang terdapat dalam <em>Ordo Missae</em> dari <em>Missale Romanum</em> Pius V (1570) dan <em>Missale Romanum</em> Paulus VI (2008). Tujuannya adalah untuk membantu pembaca agar dapat mengenal dan memahami bagaimana ritus pewartaan Injil ini dirayakan dalam konteks zaman yang berbeda. Pembaruan liturgi Konsili Vatikan II telah menampilkan wajah baru dari ritus ini. Beberapa unsur dari Ordo Missae yang lama telah disederhanakan dan bahkan segala bentuk pengulangan yang tidak perlu telah dihapus. Maka, penting melakukan studi komparatif terhadap kedua <em>Ordines</em> ini, agar segala bentuk perubahan yang terjadi pada ritus ini dapat dipahami dengan baik. Metode yang digunakan adalah pendekatan deskriptif-kualitatif, yang berfokus pada analisis komparatif dan historis. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa ritus pewartaan Injil dalam <em>Ordo Missae</em> saat ini akan dapat dipahami dengan baik jika ritus ini dikonfrontasikan dengan ritus dari <em>Ordo Missae</em> sebelumnya. <em>Ordo Missae</em> yang baru tidak diciptakan secara tiba-tiba atau baru sama sekali, melainkan telah disusun berdasarkan studi liturgi yang panjang, sambil mempertahankan hal-hal yang pokok. Meski ritus ini diungkapkan dalam dua bentuk <em>Ordines Missae</em> yang berbeda, tetapi ini tidak berarti bahwa Gereja Katolik Roma merayakan Ekaristi dengan menggunakan “dua ritus”, melainkan hanya dengan satu ritus, yakni ritus Romawi.</p> <p><strong>Kata-kata kunci</strong>: Pewartaan Injil, Liturgi Sabda, <em>Ordo Missae,</em> <em>Missale Romanum,</em> Perayaan Ekaristi, Pembaruan Liturgi</p> Christianus Watu Copyright (c) 2024 DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/596 Wed, 30 Oct 2024 10:20:16 +0000 Dari Sultan ke Santri: Konsep Kuasa dan Perubahan Otoritas Keagamaan dalam Masyarakat Jawa https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/603 <p>Despite having been successfully “Islamized” since the XVII century, the way Islam was practiced in general during that period undeniably differs from the current. In this essay, the shift from a society that leaned stronger on the side of <em>adat</em> (custom) towards one that is more orthodox and orthopraxical is connected with the change of religious authority in Javanese society. This essay argues that the traditional religious authority based on the notion of Power (as defined by Benedict Anderson) declined along with the weakening of the Javanese courts during the colonial era, thus making it possible for a new Islamic religious authority based on Scripture and prophetic teaching/tradition to take over.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Meski sebagian besar masyarakat Jawa sudah “terislamkan” sejak abad XVII, cara Islam dihayati dan dipraktikkan pada zaman itu tentu tidak sama persis dengan masa kini. Dalam makalah ini, perubahan dari masyarakat yang lebih condong para adat menuju masyarakat yang lebih agamis dan menghayati Islam secara lebih ortodoks dan ortopraktis dikaitkan dengan perubahan otoritas keagamaan dalam masyarakat Jawa. Argumen makalah ini adalah bahwa otoritas tradisional masyarakat Jawa yang sebelumnya berpusat pada konsep Kuasa (menurut pengertian Benedict Anderson) perlahan melemah seiring memudarnya pamor kerajaan-kerajaan Jawa pada masa kolonial sehingga pada tahap selanjutnya tergantikan oleh otoritas keagamaan Islam yang berorientasi pada Kitab Suci dan ajaran kenabian.</p> <p><strong>Kata-kata Kunci: </strong>Jawa, Mataram, Kuasa, Islam, Otoritas Keagamaan</p> Teilhard Soesilo Copyright (c) 2024 DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/603 Wed, 30 Oct 2024 10:20:46 +0000 Hiposubjektivitas Timothy Morton: Sebuah Tawaran Filsafat Manusia di Era Antroposen https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/591 <p>This article proposes a new alternative account to anthropocentric explanations of the philosophy of man through Timothy Morton’s view of ‘hyposubjectivity’. Anthropocentrism is a paradigm that privileges human beings in cosmology, epistemology, and axiology. An alternative view is important because large-scale changes are threatening and may lead to the extinction of life in the biosphere, which results in a new proposed geological time classiÞcation that shifts the Holocene epoch to the Anthropocene. Ironically, while the anthropocentric view proves its premise on human dominance over non-human conditions, this change has in fact made humans powerless in the face of the change itself. Through the concept of hyposubjectivity, Morton offers an explanation of the relationship between humans and nonhumans as a symbiotic collective that should work together through solidarity between ‘species beings’. This article wants to emphasize the meaning that human being does not constitute the totality of the universe.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Melalui pandangan Timothy Morton tentang ‘hiposubjektivitas’, artikel ini mencoba memberikan alternatif baru terhadap filsafat manusia yang tidak antroposentris. Antroposentrisme sendiri merupakan paradigma yang memberikan keistimewaan bagi manusia secara kosmologis, epistemik, dan aksiologis. Pandangan alternatif penting karena krisis lingkungan skala besar sedang terjadi dengan akibat kehidupan pada biosfer terancam punah hingga memunculkan usulan klasifikasi waktu geologis baru: dari kala Holosen menjadi Antroposen. Secara ironis, kala Antroposen menunjukkan di satu sisi kebenaran premis antroposentris bahwa kedigdayaan manusia telah berhasil mengintervensi kondisi non-manusia, tetapi di sisi lain perubahan ini kemudian justru membuat manusia tidak berdaya di hadapan krisis yang diakibatkannya sendiri. Melalui konsep hiposubjektivitas, Morton menawarkan penjelasan relasi antara manusia dan non-manusia sebagai suatu kolektif simbiotis yang seharusnya saling bekerja sama melalui solidaritas antara ‘makhluk spesies’. Dengan demikian, artikel ini menekankan pemaknaan bahwa manusia bukanlah segala-galanya di semesta ini.</p> <p><strong>Kata-kata kunci</strong>: hiposubjektivitas, hiperobjektivitas, materialisme baru, antroposentrisme, Antroposen, Timothy Morton, ekologi</p> Devananta Rafiq Copyright (c) 2024 DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/591 Wed, 30 Oct 2024 10:21:13 +0000